BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya
perekonomian yang saat ini mengarah pada globalisasi, maka kebutuhan akan
laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan pun semakin meningkat.
Pengaruh globalisasi juga membawa dampak negatif pada jasa audit, pelaku
profesi auditor independen atau akuntan publik dituntut untuk menunjukan
profesionalismenya. Akuntan atau auditor harus dapat memberikan jasa kualitas
terbaik dengan bertanggung jawab dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan di masa
mendatang, para professional diharuskan memiliki kemampuan dan keahlian khusus
dalam suatu profesi, selain itu untuk menjalankan suatu profesi sangatlah
penting adanya etika profesi. Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan
etika, yang dalam bahasa yunani terdiri dari dua kata yaitu ethos yang
berarti kebiasaan atau adat, dan ethikos yang berarti perasaan
batin atau kecenderungan batin yang mendorong manusia dalam bertingkah laku.
Etika profesi meliputi suatu standar dari sikap para anggota profesi yang
dirancang agar sedapat mungkin terlihat praktis dan realitis, namun tetap
idealistis. Setiap akuntan harus mematuhi etika profesi mereka agar tidak
menyimpangi aturan dalam menyelesaikan laporan keuangan kliennya.
Dengan adanya kode etik profesi,
akuntan diharapkan berperilaku secara benar dan tidak melakukan perbuatan yang
melanggar aturan. Meski begitu terkadang pelanggaran tetap saja terjadi. Hal
ini dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengetahuan dalam menerapkan etika
secara memadai. Oleh karena itu diperlukan adanya landasan pada standar moral
dan etika tertentu. Untuk mendukung profesionalisme akuntan, Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), sejak tahun 1975 telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan
Indonesia” yang telah mengalami revisi pada tahun 1986, tahun 1994 dan terakhir
pada tahun 1998. Dalam Mukadimah Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 1998
ditekankan pentingnya prinsip etika bagi akuntan. Dengan menjadi anggota,
seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin dan memenuhi segala
hukum dan peraturan yang telah disyaratkan.
Dalam hal ini penulis membahas mengenai Pelanggaran
Kode Etik Akuntansi yang terjadi didalam Kasus Mulyana W. Kusuma.
Pelanggaran itu berkaitan dengan diduganya menyuap anggota BPK yang saat
itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic
untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta,
dan teknologi informasi.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
- Bagaimana opini penulis terhadap masalah yang terjadi pada Kasus Mulyana W Kusuma ?
- Etika profesi apa yang dilanggar pada kasus Mulyana W Kusuma ?
1.2.2 Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
penulis hanya membahas kasus Mulyana W Kusuma tahun 2004.
1.3 Tujuan penelitian
- Untuk mengetahui opini penulis tentang masalah apa yang terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma
- Untuk mengetahui etika profesi apa yang dilanggar pada kasus Kasus Mulyana W Kusuma
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 PENGERTIAN ETIKA
Menurut bahasa Yunani Kuno, etika
berasal dari kata ethikos yang berarti “timbul dari
kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu
ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the
discipline which can act as the performance index or reference for our control
system“. Etika disebut juga filsafat moral. Etika tidak mempersoalkan
keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
2.2 ETIKA PROFESI AKUNTANSI
MENURUT IAI
Etika profesi akuntan di Indonesia
diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang
berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada
instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan
tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari
tiga bagian:1. Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi
Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh
anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
2. Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya
mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan 3. Interpretasi Aturan Etika,
Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan
yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan
pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan
Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
2.3 KODE ETIK PROFESI
AKUNTANSI
2.3.1 Kode
Perilaku Profesional
Garis besar kode etik dan perilaku
profesional adalah :
- Kontribusi untuk masyarakat dan kesejahteraan manusia.
Prinsip mengenai kualitas hidup
semua orang menegaskan kewajiban untuk
melindungi hak asasi manusia termasuk ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan.
melindungi hak asasi manusia termasuk ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan.
- Hindari menyakiti orang lain.
“Harm” berarti konsekuensi cedera,
seperti hilangnya informasi yang tidak
diinginkan, kehilangan harta benda, kerusakan harta benda, atau dampak lingkungan yang tidak diinginkan.
diinginkan, kehilangan harta benda, kerusakan harta benda, atau dampak lingkungan yang tidak diinginkan.
- Bersikap jujur dan dapat dipercaya
Kejujuran merupakan komponen penting
dari kepercayaan. Tanpa kepercayaan suatu organisasi tidak dapat berfungsi
secara efektif.
- Bersikap adil dan tidak mendiskriminasi nilai-nilai kesetaraan, toleransi, menghormati orang lain, dan prinsip-prinsip keadilan yang sama dalam mengatur perintah.
- Hak milik yang temasuk hak cipta dan hak paten.
Pelanggaran hak cipta, hak paten,
rahasia dagang dan syarat-syarat perjanjian lisensi dilarang oleh hukum di
setiap keadaan.
- Memberikan kredit yang pantas untuk properti intelektual.
Komputasi profesional diwajibkan
untuk melindungi integritas dari kekayaan intelektual.
- Menghormati privasi orang lain
Komputasi dan teknologi komunikasi
memungkinkan pengumpulan dan pertukaran informasi pribadi pada skala yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban.
- Kepercayaan
Prinsip kejujuran meluas ke masalah
kerahasiaan informasi setiap kali salah satu telah membuat janji eksplisit
untuk menghormati kerahasiaan atau, secara implisit, saat informasi pribadi
tidak secara langsung berkaitan dengan pelaksanaan tugas seseorang.
2.3.2 Prinsip Etika
Profesi Akuntan Menurut IAI
- Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya
sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan
moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
- Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk
senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati
kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
- Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan
kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya
dengan integritas setinggi mungkin.
- Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga
obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban
profesionalnya.
- Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan
jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten
berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
- Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati
kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan
tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan,
kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.
- Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku
yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang
dapat mendiskreditkan profesi.
- Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan
jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang
relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan
tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
2.4 ETIKA DALAM AUDITING
Etika dalam auditing adalah suatu
proses yang sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara
objektif mengenai asersi-asersi kegiatan ekonomi, dengan tujuan menetapkan
derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut, serta penyampaian hasilnya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2.4.1 Peranan etika dalam
profesi audit
- Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi.
- Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
- Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit
- Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
- Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit.
2.4.2 Pentingnya nilai-nilai
etika dalam auditing :
- Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi.
- Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
- Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit
- Standar etika diperlukan bagi profe Tautan permanen
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Mulyana W. Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun
2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK
yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic
pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara,
amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan,
badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada
sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa
laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata
laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat
inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena
dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama dengan
auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap
upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar
pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan
kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman
telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa
Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah
melanggar kode etik akuntan.
3.2 Etika
Dalam praktik hidup sehari-hari,
teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua
pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatandeontological dan
pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological,
perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang
melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada
nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada
pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan
manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan
kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar
atau salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa
(auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun
auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang
disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini
diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri
auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh
auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi.
Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor
harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas,
seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity),
bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya
terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam
menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan
inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga
pihak), melanggar etika atau tidak.
3.3 Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W
Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah
pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU,
sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada
pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan
sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan
tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh
KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan
moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima
oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah
rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan
KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang
menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi,
auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan
uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika
dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja
dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan
objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip
hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK
adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus
bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana
tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau
dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi
akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau
memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap
kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran
bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus
tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
3.4 Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK,
tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami
(natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati
untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal),
dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah
Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan
dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah
uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak
tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana
menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan
KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak
dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang
hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah
kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan
semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah
dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab,
maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif
untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai ‘aman’ pada proses
pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi,
sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak
auditor BPK?
Memang santer didengar oleh
masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP,
Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk
mencapai rasa ‘aman’ atas tindakan pengelolaan uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa
diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini
adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR,
dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja,
pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika
pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak
kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem
informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara
rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?,
yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas
maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi
kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka
pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja
telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja
seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor.
Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri
Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas
tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian
kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar
dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan
kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima
kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W
Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup
lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan,
sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk
menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus
dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan
melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja,
pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan
penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang
disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima
kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar
dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan
pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan
dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin
lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh
Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa
berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari
rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara
benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas
korupsi di negeri ini.
BAB
IV
PENUTUP
Dalam kasus ini, bahwa tindakan
kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu
KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi
kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada
imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma, walaupun
dengan tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di
tubuh KPU.
Maka dari itu, berdasarkan kasus
yang terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
adanya pelanggaran kode etik profesi akuntansi diantaranya sebagai berikut:
1. Kepentingan Publik
Akuntan Publik tersebut tidak
menghormati kepercayaan publik dikarenakan diduga menyuap anggota BPK yang
saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic
pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara,
amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. auditor BPK sangat pantas
diragukan. Berdasarkan pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara
serampangan menjalankan profesinya.
2. Integritas
Dari sudut pandang etika profesi,
auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan
uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika
dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja
dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi
3. Objektivitas
Pada kasus ini, auditor telah
memihak salah satu pihak dengan berpendapat telah ada kecurangan. Ketika
prinsip objektivitas ditiadakan, maka kinerja auditor tersebut sangat pantas diragukan.
Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang dilakukan adalah bahwa dengan
standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat,
objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU
dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan.
4. Kompetensi dan kehati- hatian
professional.
Auditor dianggap tidak mampu
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan professional sampai dia harus
melakukan upaya penjebakan untuk membuktikan kecurangan yang terjadi.
5. Perilaku Profesional
Dalam kasus ini kembali lagi kepada
tanggung jawab moral seorang auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK
harus sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah
dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola
berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel,
dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri
ini..
6. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan
jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang
relevan. Dalam hal ini seorang akuntan dituntut untuk melakukan penyusunan
laporan keuangan harus sesuai dengan standar teknis yang berlaku, yakni sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan. Namun pada kenyataannya dalam kasus
Mulyana W Kusuma, dapat dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak,
pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak
etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang
diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah
uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma, walaupun dengan tujuan
‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.